Matahari belum juga menampakkan dirinya dari balik cakrawala
saat titik-titik embun bergumul menelusup, membasahi permukaan jendela bagian
luar di sebuah kamar flat di daerah Selatan kota Sukamaju.
Suara mesin
pendingin udara berdengung seperti anak kecil yang menangis sesenggerukan
karena kehilangan ibunya. Ranjang serta duvet yang membalut seluruh tubuhku
terasa sangat posesif saat ini, seperti kekasih yang enggan ditinggal pergi.
Mataku pun enggan terbuka, serasa ada lem yang merekatkan
selaput mata. Namun bisa juga mata ini akhirnya terbuka. Jam menunjukkan pukul
enam kurang sepuluh. Kamar ini hening dan sunyi sekali, hanya detakan jarum jam
yang terdengar, bahkan degup jantungku pun hampir bisa didengar. Mataku belum
berpaling dari jam yang berada di atas meja sisi kiri tempat tidur.
Kriiingg!
Akhirnya jam berbunyi juga. Tapi sial, tubuhku masih belum juga mau beranjak dari kediamannya. Dering jam belum juga berhenti, karena memang belum kuhentikan. Malas sekali aku menggerakkan tangan ini untuk keluar dari kenyamanan duvet bulu angsa yang menyelimuti tubuhku. Serasa ada gejolak batin setan-malaikat ala kartun Walt Disney. Di satu sisi menahanku agar tetap berbaring, di sisi lain memaksaku untuk segera terbangun dan beraktivitas.
“Aarrrggh…”
Begitu keras aku berteriak. Keras sekali, seperti akan pecah
pita suaraku. Jantungku berdegup kencang hingga dadaku bergetar. Getarannya
benar-benar terasa hingga ke dada.
“Jaenab, kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, Tuan Marhali,” jawabku berbohong.
“Jaenab, apa kamu mimpi buruk lagi?” tanya Tuan Marhali
lagi. Aku tidak sanggup menjawabnya. Aku benar-benar ketakutan. Takut akan
berkata bohong lagi.
“Jaenab, datanglah ke kamarku. Mari kita sarapan bersama
sebelum kau berangkat ke perpustakaan,” kata Tuan Marhali.
Takut, aku masih ketakutan. Air mata ketakutanku keluar
begitu saja. Bulir-bulir air mata berikutnya kembali mengalir dengan deras, kini
mereka menyapa bibir, dan ada juga yang merangsek masuk ke mulut. Aku merasakan
asinnya air mataku.
“Tujuh kali sudah,” aku bergumam sendiri.
Ini sudah ketujuh kalinya dalam tiga bulan terakhir sejak
kecelakaan hebat yang aku alami. Sudah tujuh kali sejak saat itu aku terbangun dari
tidur dan mendapati kedua belah tanganku berlumuran darah. Bau anyir darah
masih bisa kurasakan. Seakan memenuhi lubang hidungku, aroma darah membuat
hidungku sesak akan baunya.
Aku masih tidak sanggup berdiri, tapi aku paksakan diri ini
untuk berdiri. Betis, lutut, hingga pangkal paha benar-benar bergetar keras.
Terhuyung-huyung aku berjalan. Sungguh rasa yang sama seperti yang kurasakan usai
aku disetubuhi Darso, anak pemilik seluruh kamar flat.
Dengan lutut sebagai tumpuan, aku merangkak menuju wastafel.
Sesaat aku seperti mencium aroma tembakau, bahkan aku melihat abu bekas rokok
di atas karpet. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku ‘kan tidak merokok.
Abu rokok ini juga mungkin bekas rokok dari si Darso bajingan waktu terakhir
dia datang ke kamarku.
Rasa tembakau di mulutku ini juga pasti disebabkan olehnya.
Kadang dia suka datang ke kamarku dalam keadaan mabuk hanya untuk menciumku.
Sialnya, kalau aku sudah tidur, aku akan sulit sekali terbangun. Tapi masa bodoh.
Toh, dia sudah sering menyetubuhiku. Apa lagi yang harus kucemaskan? Selama dia
tidak bertindak kasar, aku akan bersabar. Aku belum mau kehilangan tempat
tinggal. Apalagi uang gajiku ini tidak seberapa untuk menyewa flat. Kalau
dengan menyerahkan tubuhku padanya aku bisa terbebas dari biaya sewa, maka aku
rela melakukannya.
Lima belas menit kuhabiskan untuk membersihkan sisa darah
yang melekat pada kedua belah tanganku. Dengan langkah yang sudah sedikit
tenang, aku melangkah ke dapur dan menghidupkan mesin kopi. Degup jantungku
mulai stabil meski masih terasa sedikit cepat dari biasanya. Secangkir kopi
arabika yang baru saja kubuat perlahan kuminum. Aku bisa merasakan kopi mengalir
dari tenggorokan, hangat melewati dada. Kuletakkan gelas kopi pada sisi kanan tempat
tidurku, di sebelah buku The Naked Face karya Sidney Sheldon yang tak kunjung
usai kubaca selama tiga minggu ini.
Setelah kurasa diriku sudah benar-benar tenang, aku mengambil
handuk, lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Kuhidupkan shower, dan kubiarkan
seluruh tubuhku dibasahi air hangat untuk beberapa saat. Kutengadahkan wajahku
ke arah air yang mengucur, kupejamkan mataku, lalu kunikmati setiap tetes air
yang membasahi seluruh jengkal tubuhku.
“Jaenab, apa kau sudah siap?” suara Tuan Marhali terdengar
dari balik pintu.
“Sebentar lagi, Tuan Marhali!” jawabku setengah berteriak.
Aku keluar dari kamar mandi. Setelah berpakaian, aku
melangkah terburu-buru menuju kamar Tuan Marhali. Aku berdiri di depan pintu
kamar Tuan Marhali yang sudah terbuka. Aku ragu untuk langsung masuk. Akan
lebih sopan jika aku mengetuk terlebih dahulu. Tapi baru saja aku ingin
mengetuk, Nyonya Saripah sudah datang untuk menjemputku. Sambil memegang
lenganku, dengan anggun dia mempersilakanku duduk.
Tidak lama kemudian Tuan Marhali keluar dari kamarnya dan
langsung duduk di sebelahku. Nyonya Saripah datang dari dapur membawa tiga
piring berisi sego pecel untuk kami bertiga. Setelah selesai meletakkan piring terakhir
untuk suaminya, Nyonya Saripah menyempatkan untuk mengecup bibir Tuan Marhali
sebelum duduk di depan Tuan Marhali.
“Jaenab, baiknya kamu minum bajigur pagi ini,” Nyonya Saripah menawarkanku secangkir bajigur hangat untuk kunikmati.
“Apa saja, Nyonya
Saripah” aku menjawab.
“Masih memimpikan hal yang
sama?” Tuan Marhali bertanya.
“Iya, Tuan Marhali,” ini
kebohonganku yang kedelapan. Aku tidak pernah bermimpi buruk.
Aku hanya terkejut karena
ketika bangun tidur tanganku selalu berlumuran darah yang aku tidak tahu datang
dari mana.
“Sebaiknya kau pergi ke psikiater untuk coba konsultasikan
perihal mimpimu itu, Jaenab,” saran Tuan Marhali.
Aku mengangguk dan tersenyum kaku. Pagi ini aku tidak bernafsu makan. Tapi
karena kebaikan Nyonya Saripah, kupaksakan diriku untuk menghabiskan sego pecel
buatannya. Setelah berterima kasih kepada pasangan suami istri Marhali dan
Saripah, aku berangkat menuju perpustakaan kota tempatku bekerja.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Mantili, rekanku di perpustakaan
ketika melihatku datang.
“Kau sudah tiba rupanya,” jawabku mencoba mengalihkan
perhatiannya. Aku terlalu lelah untuk menceritakan tentang itu.
“Sudah tujuh kali, Jaenab. Kapan kau mau menceritakan
mimpi-mimpimu itu padaku?”
“Kau sudah membersihkan semua, Mantili? Pendingin udara juga
sudah kau hidupkan?”aku masih mencoba mengalihkan pertanyaan Mantili.
“Jaenab, cukup! Ceritakan masalahmu, Je,” kedua tangan
Mantili mencengkeram erat bahuku.
Dengan geram, Mantili melontarkan pertanyaan yang
terus-menerus aku alihkan. Sejenak aku menarik napas panjang, kupegang tangan
Mantili, dan dengan senyum yang dipaksakan, aku akhirnya berkata,
“Aku baik-baik saja,
Mantili. Sebentar lagi jam sembilan, ayo kita buka pintu depan.”
Aku melangkah dan meninggalkan
Mantili di belakang.
“Setidaknya kunjungilah
psikiater, Je. Jangan kau pendam sendiri, aku mengkhawatirkanmu,” kata Mantili
lagi.
Lagu “Tenderly” dari
Sarah Vaughan mengalun merdu memenuhi meja penerimaan tamu perpustakaan. Hanya
di area sini kita bisa mendengar suara musik.
“Sadis sekali, yah,”
Mantili bergumam sendiri, wajahnya tertutup surat kabar hari ini.
“Apa yang sadis?” aku
bertanya pada Mantili.
“Kau belum baca surat
kabar hari ini?” Mantili malah balik bertanya.
“Belum.”
Setelah mengalami kecelakaan, aku memang hanya fokus pada
penyembuhan serta menyibukkan diri dengan membaca. Terlebih pekerjaan di
perpustakaan sedang membludak.
“Sudah tujuh korbannya, Je. Dan semua korbannya meninggal
dengan mengerikan. Perutnya terkoyak. Ada yang tenggorokannya robek, bahkan
kerongkongannya terburai keluar.”
Mantili menceritakan apa yang dituliskan surat kabar
kepadaku, tapi karena aku masih fokus membuat katalog untuk buku-buku baru,
jadi perhatianku agak terpecah.
“Iya. Bagaimana tadi, Mantili?” aku meminta Mantili
mengulang ceritanya.
“Ya ampun, Jaenab. Kejadian-kejadian itu terjadi di kota
ini! Apa kau tidak takut?” Mantili
menegaskan betapa berbahayanya kasus ini.
“Memang motif pembunuhannya apa?”
“Itu yang masih membingungkan kepolisan. Hingga saat ini,
tidak ada motif sama sekali, bahkan ini terlihat seperti si pembunuh hanya sedang
ingin membunuh,” Mantili menjawab pertanyaanku,
“dan yang mengerikan, menurut kepolisian, pembunuhan ini
seakan dilakukan profesional. Itulah sebabnya hingga pembunuhan ketujuh ini, pihak
kepolisian tidak mendapatkan petunjuk sama sekali. Dan pembunuhan selalu
terjadi setelah tengah malam.” Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Aku
hanya terdiam menyimak cerita dari Mantili. Kami berdua saling tatap dan
bingung harus bicara apa, hingga akhirnya kami kembali ke aktifitas kami masing-masing.
Aku melanjutkan pembuatan katalog untuk buku-buku baru.
Sebuah jam besar yang tergantung di depan meja penerimaan tamu perpustakaan sudah menunjukkan jam enam petang. Tidak terlalu banyak pengunjung yang datang hari ini, sebagian besar waktuku habis untuk melengkapi katalog buku-buku baru. Jadi hari ini tetap melelahkan bagiku. Pintu depan perpustakaan kami tutup, lalu kami memutari seluruh perpustakaan. Kami berputar untuk memastikan semua buku ada pada tempatnya hingga akhirnya kami berdua bertemu di satu titik yang sama.
“Jaenab, bagaimana kalau kita minum bir sejenak sebelum kita
pulang? Lagipula masih jam enam. Jangan takut, pembunuh gila itu mungkin masih
tertidur di jam-jam segini,” kata Mantili.
Aku mengangguk.
***
Bunyi bel yang tergantung tepat di bagian belakang pintu berdering
ketika pintu kami
buka.
buka.
“Hei, Mantili, kau
mengajak Jaenab lagi hari ini?” Japra Sodik, seorang penjaga bar menyapa kami
berdua. Sebenarnya dia adalah sahabat Mantili sejak kecil, dan aku baru kenal dengannya
beberapa minggu belakangan.
“Cap tikus, ciu dan sopi. Kita kedatangan tiga barang baru,
kamu mau coba, Mantili?”
tawar Japra.
tawar Japra.
“Tidak perlu, Japra. Bir yang biasa saja dua,” kata Mantili.
“Japra, aku ingin tahu bulat dan bakso goreng,” aku menambahkan
pesanan kepada Japra.
Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga pesananku datang.
Belum sampai tiga puluh menit, bir yang kami pesan pun sudah habis. Jadi kami
memesan kembali untuk kedua kalinya. Malam itu tidak terlalu ramai, Japra
bergabung bersama kami. Kami bercerita dan tertawa dengan riang gembira.
Kebanyakan cerita hanya tentang Mantili dan Japra sewaktu kecil, jadi aku hanya
menjadi pendengar yang baik.
Tiga belas gelas bir tergelatak di meja. Jam sudah
menunjukkan pukul sembilan
malam. Aku dan Mantili akhirnya memutuskan untuk pulang. Di persimpangan jalan
aku berpisah dengan Mantili. Lebih kurang pukul 09.30, aku tiba di kamar flat. Ketika
kuperhatikan jam weker tersebut, bercak darah mengering pada tombol bagian atas
jam weker tersebut masih ada. Bekas tanganku pagi tadi yang menempel pada bagian
tombol tersebut. Kuambil handuk dan kubawa menuju wastafel. Kubersihkan bercak darah tersebut menggunakan tisu yang kubasahi sampai bersih tak bersisa.
malam. Aku dan Mantili akhirnya memutuskan untuk pulang. Di persimpangan jalan
aku berpisah dengan Mantili. Lebih kurang pukul 09.30, aku tiba di kamar flat. Ketika
kuperhatikan jam weker tersebut, bercak darah mengering pada tombol bagian atas
jam weker tersebut masih ada. Bekas tanganku pagi tadi yang menempel pada bagian
tombol tersebut. Kuambil handuk dan kubawa menuju wastafel. Kubersihkan bercak darah tersebut menggunakan tisu yang kubasahi sampai bersih tak bersisa.
Aku letakkan jam tersebut diatas wastafel di depan cermin,
dekat dengan peralatan make up milikku. Entah mengapa aku selalu merasa tenang
dan bahagia ketika butiran-butiran air dari shower mengalir ke seluruh tubuhku.
Sungguh menenangkan sekali. Seperti biasa, aku hanya membutuhkan waktu lima
belas menit untuk mandi. Selesai mandi, kusempatkan untuk minum segelas susu
sebelum menuju tempat tidur. Setelah itu, kuambil The Naked Face yang belum
kubaca sampai tuntas. Baru enam halaman kulampaui, mataku sudah mulai lelah dan
ingin dipejam.
Kucukupkan bacaanku untuk malam ini. Kutandai dengan
pembatas buku dan kuletakkan buku tersebut di tempat semula. Udara cukup
dingin, pendingin udara sudah kupadamkan, tapi masih tetap terasa dingin.
Aku memasukkan kaki serta seluruh tubuhku ke dalam duvet dan
memulai memejamkan mata.
***
Pukul 12.00 tengah malam mata saya terbuka. Seperti biasa,
jam weker malam ini tidak ada di posisi seharusnya, sebelah kiri tempat tidur,
tapi The Naked Face masih ada di sebelah kanan. Dia wanita yang cukup disiplin
nampaknya. Semua selalu terlihat rapi. Saya mengeluarkan kaki yang bersembunyi dibawah
duvet yang terbuat dari bulu angsa. Dengan merunduk, saya memasukkan tangan ke
bawah kolong tempat tidur, mencari rokok Kansas yang saya sembunyikan.
Jika tidak disembunyikan, wanita bodoh ini pasti sudah
membuang rokok saya. Saya membasuh wajah di wastafel dan melihat jam weker di
sana. Mungkin wanita ini lupa menaruhnya kembali. Saya meletakkan jam weker
kembali pada tempatnya,
sebelah kiri meja tempat tidur, persis di sebelah lampu kamar
sebelah kiri meja tempat tidur, persis di sebelah lampu kamar
Saya ambil pemantik di bawah wastafel. Seketika asap
mengepul di ruangan kamar. Dengan rokok masih terselip di bibir, saya mencari
celana jeans serta jaket kulit yang seminggu lalu saya beli. Saya biasa
meletakkannya di bagian belakang lemari. Setelah saya menemukan kedua barang
itu, segera saja saya mengganti baju dan melangkah ke luar flat.
“Hehehe. Darso dan Japra. Kali ini giliran kalian. Tidak ada yang akan bisa kabur dariku. Tidak ada yang akan bisa kabur dari Jaelani! Hahaha!”
Darah di
Tanganku
cerita ditulis oleh : Choirul Anwar
diambil dari : Narazine edisi 1 (narazine.co)
0 komentar:
Posting Komentar